Administrasi VS Keselamatan Pasien
Oleh : Rifaah Munawwarah
Nabila, begitulah sapaan anak berusia 2 tahun yang pernah mendapatkan pelayanan yang kurang baik di sebuah rumah sakit di Makassar. Nabila berasal dari keluarga yang tidak mampu. Suatu ketika bocah kecil itu di rawat di rumah sakit tersebut karena menderita penyakit muntaber. Karena ia berasal dari keluarga tidak mampu, maka ia di rawat di kamar kelas bangsal. Kondisi kamar tersebut sangat sederhana dan sempit, ada 4 tempat tidur pasien yang terbuat dari kayu. Namun, yang disesalkan adalah keadaan lingkungan sekitar kamar pasien yang sangat tidak mencerminkan rumah sakit. Dimana orang bebas merokok sana sini, banyak sampah berserakan, dll.
Selama 5 hari bocah itu di rawat dengan pelayanan yang sangat minim. Dokter jarang berkunjung untuk menanyakan kabar pasien, bahkan mungkin hanya sekali. Dan lebih mengecewakan lagi, infus untuk pasien pun harus di beli sendiri di apotek.
Nabila keluar dari rumah sakit dalam keadaan yang belum sembuh benar. Keadaannya masih lemah. 2 hari kemudian, bocah itu mendadak kejang-kejang karena suhu tubuhnya yang amat tinggi. Sang ibu panik dan kemudian menghubungi rekannya untuk membantu Nabila agar dibawa ke rumah sakit. Keadaan si kecil itu sangat menghawatirkan. Tapi apa yang di dapatnya saat di rumah sakit tempat ia di rawat dulu, sebuah perlakuan yang mengecewakan. Saat itu sang ibu dan rekannya hendak memasukkan Nabila di ruang ICU, namun para perawat disana tidak memperbolehkannya. Katanya harus mengambil rujukan terlebih dahulu di puskesmas. Dengan terpaksa, sang ibu beserta rekannya ke puskesmas untuk meminta rujukan. Saat di puskesmas, antrian sangat panjang, mau tidak mau mereka harus menunggu giliran. Proses itu memakan waktu hingga 1 jam.
Setelah mendapat rujukan, mereka pun kembali ke rumah sakit itu. Saat Nabila sekali lagi ingin dimasukkan ke ruang ICU justru perawat itu menyuruh sang ibu untuk melakukan administrasi terlebih dahulu. Apa boleh buat, sang ibu pun ke tempat administrasi dengan Nabila dalam gendongannya. Proses administrasi tersebut memakan waktu yang sangat lama, karena harus memfotocopy sana sini kartu keluarga miskin, ktp, askes, dan sebagainya.
Untung saja saat ditangani, kondisi Nabila tidak bertambah buruk. Bisa kita bayangkan jika yang terjadi malah sebaliknya. Betapa panjangnya proses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit bagi keluarga miskin.
Haruskah sistem tersebut tetap dipertahankan???? TIDAK !!! sistem tersebut harus diubah menjadi “utamakan keselamatan dibanding administrasi”. Jangan biarkan administrasi menunda penanganan pasien, terutama pasien yang berasal dari keluarga miskin. Jangan biarkan ada pasien yang tidak tertolong karena keterlambatan penanganann akibat pengurusan administrasi yang menjadi syarat utama dirawatnya pasien.